Friday, December 16, 2011

mengkapital : jalan tergesa dan apa peduli saya

"Satu hal yang saya pelajari dari Jakarta adalah bergerak... " dia menerawang jalanan

"...Kita akan melihat sepanjang jalan ada orang dengan langkah-langkah cepat mengejar waktu, karena seberharganya waktu sampai satuan detik.. " lanjutnya, dan beralih menatap saya.

Saya mengingat gambaran perbincangan ketika itu. Dan benar, sekarang (dari kemarin-kemarin juga sih) saya mengamini perkataannya. Pagi-sore jalanan berjubel aktivitas bergerak ini. Jalanan dipenuhi kuda-kuda besi. Trotoar, sisi-sisi jalan, koridor, lorong pun disesaki orang berjalan.

Demikan juga ketika suatu sore, saya dengan langkah terburu, seperti juga yang lainnya, dalam hati memaki mbak2 yang berjalan pelan bergandengan tangan dengan seorang lelaki, di sebuah jalan kecil. Terang saja, langkah saya dan orang-orang yang berada dibelakangnya, jadi benar2 terhambat. Padahal niatnya kan buru-buru biar cepat tiba di kos.

Meski ingin menggerutu, saya paksakan diri bersabar mengikuti langkah-langkah pelan dua orang itu. Hingga tiba di penghujungnya, hati saya yang hampir bersorak tertahan melihat si mbak membungkuk dan menyerahkan selembar uang (seribuan atau duaribuan, tidak terlalu jelas) kepada nenek-nenek yang biasa disana. Aaa, malu...

Memang, memberi itu pilihan. Tidak memberi itu juga pilihan. Pilihan kedua pun bisa dilakukan dengan niatan baik, tidak ingin membiasakan mereka 'meminta'. Tapi, sepertinya belakangan, alasan saya melakukan pilihan yang kedua bukan karena itu, tetapi karena kepedulian yang semakin menipis.

13 comments:

  1. Cape lihat Jakarta, untungnya sekarang gak harus tiap hari ke tengah kota, melihat berita kemacetan di media online juga sudah cukup membuat mual...

    ReplyDelete
  2. di luar Jakarta sini waktu terasa cepat berlalu.... dari yang semula bukan apa2 menjadi saking apa2nya di sini

    ReplyDelete
  3. Ms iqbal :
    ya gimana, ya.. Masih belajar mengkerasankan diri, mas.

    Maman:
    tinggal terbang aja sih, dalam hitungan menit juga nyampe.
    Saya, pengen mengunjungi Lok Nga-nya delisa :)

    ReplyDelete
  4. Imam :
    sepertinya hari itu, tempat tujuan kita sama.. :)

    ziy :
    karena katanya, hidup hanya berkisar pada 3 hal, pilihan-keputusan-konsekuensi :)

    ReplyDelete
  5. Mb sarah :
    hehe. Kalo saya saban hari, mbak, pagi-sore, melewati semanggi senayan :)
    mungkin ya itu kali, mbak. Kemacetan dan kesemrawutan itu didatangkan utk menguji kita, mau mengeluh atau bersabar.. :D

    anas:
    ciyee, yg jadi orang-penting sekarang :D

    ReplyDelete
  6. Xi xi xi iya gantian uji kesabaran kali.
    Aku kan udah ikutan uji nyali dari th 90an-2009 :) walopun waktu itu blm semacet saat ini...
    Sekarang saatnya lenyeh2 di rumah :)

    Kalo masih kost kenapa gak pindah kost aja di sekitar semanggi/senayan? Kan lebih nyaman..

    ReplyDelete
  7. mestinya klo sudah penempatan di daerah, kemacetan ibukota itu ngangenin. Tapi saya belum merasakannya. Keramaian hanya akan membuatmu tak nyaman namun kesunyian dapat membunuhmu. #ngasal

    ReplyDelete
  8. dirga... you absolutely so wrong.....
    malah kemaren kemaren saat ada kesempatan ke jakarta lagi, ya itulah yang jadi bikin kejengkelan kegondokan jadi inget lagi hohoho

    ReplyDelete
  9. ya saya kan belum mengalaminya. Tp poin terakhir itu ada benarnya lho, di kala ramai mungkin kita sesak tp di kala sepi sunyi sendiri, seolah mau mati. Karena manusia ada untuk bersama. Cmiiw.

    ReplyDelete