Tuesday, January 24, 2012

edisi Bandung


Welcome to Bandung, the city of fashion, dine & entertainment

no desc, biar gambar yang bercerita :)

Friday, January 20, 2012

Bahasa

Tentang membaca dan menulis. Sedari SD, memang saya suka membaca. Hampir seluruh buku di perpustakaan sudah saya 'jelajahi', meskipun sebagian tak benar-benar saya baca. Meski pada dasarnya, kemampuan berbahasa saya cukup buruk. Nilai Bahasa Indonesia saya semenjak SD hingga SMA, tak pernah melampaui nilai mata pelajaran eksak saya. Bahkan, jikapun nilai eksak saya lebih tinggi (ehm.. kesedak!) dari teman2 saya, maka nilai bahasa saya seringkali lebih rendah dari mereka. Uphh.. Maka saat itu, saya mendaulat diri sebagai seorang yang kurang mampu berbahasa. Otomatis itu membuat saya menjadi tidak menyukainya.

Dan waktu berlalu.. Setahun.. Dua Tahun.. Dan hei, sekarang saya sudah melewati tahun keempat semenjak menanggalkan seragam abu-abu. Empat tahun. Sepanjang itu ternyata bisa mengubah saya yang hampir2 'membenci' bahasa menjadi sedemikian mencintainya melebihi kecintaan akan akuntansi -mata pelajaran utama yang saya pelajari selama tiga tahun kuliah.

Yaa meskipun kecintaan saya tak cukup membuatku ahli berbahasa, setidaknya itu sudah cukup membuka cakrawala berfikir saya yang dulu sempit.  Bahwa ternyata bahasa itu ilmiah, dan yang pasti : indah!
Selamat mencintai bahasa, Ute..
pict taken from here

Thursday, January 19, 2012

percaya

 sumber gambar disini
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh. mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." QS 2:62
Saya suka sekali ayat ini. Ada frase sebab- akibat disini. Jika-maka. Jika beriman dan beramal shalih, seseorang tak akan merasakan kekhawatiran maupun kesedihhatian. Kekuatan percaya berperan disini. Percaya bahwa segala yang terjadi di dunia ini, semua, semuanya, adalah ketetapan Allah, maka seorang yang mempercayai itu akan yakin bahwa semua itu baik, meskipun tak disadarinya, meski fisiknya belum mampu mengindera kebaikannya.
Bolehlah kita mendendangkan sebentar lagu Mariah Carey yang berduet dengan Whitney Houston...

Many nights we prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hopeful song
We barely understood
Now we are not afraid
Although we know there's much to fear
We were moving mountains long
Before we know we could

There can be miracles
When you believe
Though hope is frail
It's hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe
Somehow you will
You will when you believe

In this time of fear
When prayer so often proves in vain
Hope seems like the summer birds
Too swiftly flown away
And now I am standing here
My heart's so full I can't explain
Seeking faith and speaking words
I never thought I'd say

There can be miracles
When you believe (When you believe)
Though hope is frail
It's hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve (You can achieve)
When you believe
Somehow you will
You will when you believe

They don't always happen when you ask
And it's easy to give in to your fear
But when you're blinded by your pain
Can't see your way clear through the rain
Thought of a still resilient voice
Says help is very near

There can be miracles (miracles)
When you believe (When you believe)
Though hope is frail
It's hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve (You can achieve)
When you believe
Somehow you will
You will when you believe
You will when you believe
You will when you believe
Just believe
You will when you believe

Ayolaah, biasa aja, jangan dilebih2kan

Entah kenapa hidungku terlalu peka mendengus bau kebanggaan pada kelompok, ashabiyah. Bukan, kali ini bukan tentang golongan2 yang terpecah dalam Islam, tapi maksudku, tentang golongan, entah itu kelas, negara, perusahaan, atau instansi. Yaa, bangga sih OK. Yang aku tidak suka, kadang sampe bersikap tidak adil ke kelompok lain. Yang sederhananya, dalam kelas, pernah aku posting di sini.
Dan beberapa hari belakangan ini, aku kembali merasakannya, di lingkup kerjaku. Katakanlah, aku seorang yang bekerja pada pemerintah sebagai eksekutor. Dan kalian juga tau, demi akuntabilitas pengelolaan kinerja dan keuangan, dibutuhkan sebuah lembaga pengawasan. Lembaga ini ada yang bersifat ekstern dan ada yang intern.

Jadi intinya, bukankah baik yang diawasi maupun yang mengawasi (yang internal ) adalah sama-sama bekerja untuk pemerintah negara? Tujuannya sama2 baik, kenapa mesti saling sinis menyinis? Gampangnya antara auditee dan auditor lah. Kenapa tidak bisa bekerja sama dengan hangat? Terus saja membesar2kan sedikit saja kesalahan lawan (lawan?)... Aaa, sulit sekali menjelaskannya.
Cukup itu sajalah ceracauku hari ini. Bye..

Mall dan aku

Sore itu, sepulang kantor, temenku minta ditemenin ke CP, Central Park, untuk mengklaim garansi BBnya yang sejak pagi harinya tidak mau menyala. Kami memutuskan menuju kesana by transjak. Daan, yaaa.. menunggu busway - berdesak2an dibusway. Seperti biasa. Setibanya di outlet BB, waktu menunjukkan pukul 18.10.
"wah, service-nya cuma buka sampe jam 6 (malam), kak.." kata pegawai outletnya.

 Aaa, temenku meng-aah. Demi tak mau perjalanan kesana sia-sia, kami sepakat mengunjungi Gramed, dengan sebelumnya menunaikan shalat maghrib terlebih dahulu. Setelah dirasa cukup, kami meninggalkan CP dan menuju TA, Taman Anggrek. Eaa.. Ini karena temenku, katanya, pengen beli sepatu di matahari. Yaa, OK-lah, sekalian jalan. Oiya, dari Gramed tadi, aku hanya membeli satu buku, Selimut Debu-nya Agustinus Wibowo. Sebenarnya saat ini aku sedang tertarik membaca biografi tokoh2 besar, tapi sepertinya aku tadi tak menemukan yang sreg.
Selanjutya, TA. Aku baru sekali ini menginjakkan kaki di TA. Pertama masuk, aku sudah disuguhi pemandangan tas2 mewah berjejer, sepatu2 hak tinggi, dan kosmetik2 wanita dipajang seluas ruangan.. Aihh, dan sejauh mata memandang, aku hanya menemukan wanita2 metropolitan yang cantik2 dan modis. Dan entah bagaimana, apakah aku yang lebay, aku merasa tidak nyaman. Ya seperti biasa sih, hehe.. ketika masuk toko perbelanjaan yang dijaga embak2, aku selalu merasa ditatap dengan tatapan 'emang kamu mau beli?'. Haha.. aku yang terlalu berprasangka buruk, terlalu sensitif, atau apa, entahlah... Haha. Tapi aku merasa itu disebabkan dandananku.. Wkwkwk.. Rok polos panjang.. jilbab tebel.. jaket hitam.. ransel hitam... dan ditambah sendal jepit.. Haha.. Beda sekali dengan pengunjung2 lain.
Kadang, dulu, demi gengsiku, aku membuktikan ke mbak2nya bahwa aku beli lo, aku mampu beli. Tapi itu kadang saja. Haha. Malam itu tidak, karena memang niatku sebenarnya hanya mengantarkan temanku belanja.
Ya begitulah.. ssenyu~umm..

Wednesday, January 18, 2012

Rok polos, jaket hitam, ransel hitam, jilbab tebel, sandal jepit ; dan disambut oleh tatapan 'kamu tak akan membeli' oleh mbak2 pramuniaga di mall.. :>

tanpa judul

Ya Allah, shalatku, bener2 gak kerasa feel-nya. Haruskah Kau beri aku ujian agar kembali terasa? Aa, pikiran macam apa ini? Tapi jujur, selama ini, aku akan berlama-lama dalam shalat, merendah, menangis, hanya ketika aku mempunyai masalah. MendatangiMu ketika aku perlu saja. Buruk sekali
Seperti itukah kami? MendatangiMu tersuruk-suruk, dan setelah Kau hilangkan kesedihan dari kami, kami meninggalkan-Mu sambil melenggang..
Ampuni kami, Rabb..
Tetapkan hati kami di jalan-Mu...

Welkam bek

Welkam bek...
Akhirnya aku kembali menemukan akunku yang sempet terlupakan. Blogspot, maafkan aku.. mungkin kau menyebut ini pelarian, pelarian dari Multiply yang sudah tidak privasi lagi. (Hei, jadi kau pikir disini bisa berprivasi-privasi? )
Aku, entah sejak kapan mulai mencintai kata. Menikmati membacanya, meski itu hanya pasif saja. Tak dilanjutkan dengan menikmati menulis.. Hehe..
Dan hari ini, setelah aku cukup dibuat pusing oleh Blogger yang sudah dibeli oleh Google, mengakibatkan aku, yang dulu ketika membuatnya memakai yahoomail, jadi sedikit bermasalah. Hufh.. Tak apalah, setidaknya pengetahuanku nambah, satu.. :D

Friday, January 13, 2012

Jam berapa ya orang akan mulai duduk manis di rumah, minum teh, bercengkerama dg keluarga, nonton tivi, menemani belajar anak, atau baca buku? #jakartamalam

Mencintai Penanda Dosa (Salim A. Fillah)

Mungkin, teman2, sudah hampir semuanya membaca tulisan ini. Tak apa, saya ingin repost saja.

Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.

Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.

Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.

Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.

Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demibarak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.

Ah, surga masih jauh.”

Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.

Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?

Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.

Ah, surga masih jauh.”

Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.

“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?

Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?

Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.

Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.

Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”

SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?

Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati,” tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”


Friday, January 6, 2012

miki


Duduk hampir 9,5 jam sehari, 5 hari sepekan, cukup membuat punggung dan tulang belakang sakit, apalagi bagi saya yang pernah bermasalah dengan nyeri tulang. Belakangan makin kerasa nyerinya.. *eh, malah ngeluh disini
Syukurlah, beberapa hari yang lalu mendapat kiriman si mickey dari temen.
Alhamdulillah, lumayan menolong.

Monday, January 2, 2012

Kangen kajian fiqh... Kangen ikut ma'had... Kangen asatidz... T.T

mengkapital#2

Aku kaget ketika tiba2 tangan seorang lelaki melewatiku, mengulurkan selembar uang duaribuan ke nenek2 di yang duduk disebelahku.

"Waah, terimakasih ya, naaak, Kerjanya dimana... ?" nenek itu berbinar-binar.

Si lelaki menjawab pertanyaan nenek itu sambil tersenyum. Aku, yang belum menangkap utuh, mencoba meraba kejadiannya.

Yang kuingat, beberapa menit sebelumnya, aku duduk di mikrolet ini bersama dua nenek2 dan seorang mas2. Seorang nenek disebelahku, terlihat dari ekor mataku, sedang membuka-buka setiap kantong tasnya, mencari-cari sesuatu. Lantas mengucapkan sesuatu kepada nenek didepannya. Tak kutangkap juga apa isi percakapan mereka.

Dan heei, aku mulai menyimpulkan sesuatu... Kalian juga telah menyimpulkannya kan..?

Aaah, memalukan, Te.. Sering sekali kau seperti ini, kehilangan sebagian kesadaran. Padahal seharian ini, semua baik-baik saja. Kau berangkat kerja. Bekerja. Kau bisa pulang 17.15an, seperti biasanya. Pun tak ada kejadian luar biasa yang mestinya menyandera kesadaranmu. Hei, lalu apa yang membuatmu -meminjam istilah orang- taksadarjaga, Te?
Entahlah...
Kehilangan konsentrasi? atau memang telinga dan mata tak peka lagi?