Karena geregetan, pak guru yang sekaligus wali kelas tersebut memberikan 4 mata pelajaran untuk 1 hari ujian susulan. *tertawa nyengir lagi
"aku ke wis bingung, nduk" lanjut beliau, "udah gak tau lagi bagaimana menghadapi wong-wong ndesomu" . (Loh kok nyalahin saya, pak?)
"kemaren ada anak yang pinter banget, olimpiade aja sering menang (fyi. untuk ukuran SMP di desa seperti ini, ini luar biasa). setelah lulus disuruh kerja sama orangtuanya. aku wis menawarkan segala bantuan mulai dari biaya sekolah sampai pemondokan, tetep aja gak boleh". Saya hanya diam.
Pola pikir, itu yang menghambat perkembangan desa ini. Pendidikan belum menjadi prioritas.Saya pernah menuliskan disini. Aktivitas warganya masih begitu monoton, yang generasi umur menengah keatas bertani (itupun sekedar untuk menghidupi keluarga tanpa berfikir untuk mengembangkannya) dan mengurus ternak. Yang muda mencari penghidupan ke kota. Ada yang jadi perawat, ada yang memilih 'ngabdi' di pondok. Itu sebagian kecil, mayoritas kerja ke kota sebagai PRT atau kuli. Tidak ada kegiatan keagamaan, tidak ada pengajian ibu-ibu, tidak ada karangtaruna, masjid sepi. Paling yang ada yasinan bapak-bapak tiap malam jum'at.
gambar Gunung Bayangkaki
Apalagi sebentar lagi saya mesti kerja entah dimana... Lengkap sudah.